1,286
Views
9
CrossRef citations to date
0
Altmetric
Articles

Migration, Moralities and Moratoriums: Female Labour Migrants and the Tensions of Protectionism in Indonesia

Pages 89-106 | Published online: 17 Jan 2018
 

Abstract

Women constitute the majority of Indonesia’s overseas labour migrants, with most employed as foreign domestic workers. A range of gendered moral discourses underpin women’s roles as domestic workers abroad. These moralities are fuelled by media images of abuse and exploitation of domestic workers, as well as anxieties regarding women’s perceived sexual autonomy overseas. Indonesian women’s overseas labour migration therefore creates persistent moral dilemmas in terms of both women’s safety and sexuality in destination countries. Consequently, the Indonesian government called for a moratorium on domestic workers migrating abroad, intended to begin in 2017, but since retracted. This article explores the gender-specific moralities embedded in the planned moratorium as they applied to female, low-skilled labour migrants. Drawing on ethnographic fieldwork conducted among domestic workers in Singapore and in a migrant-sending community in East Java, I explore the nexus between state-based paternal protectionism and women’s own views of the gendered moralities that frame their overseas employment. I argue that the moratorium that ostensibly aimed to protect domestic workers exemplifies state-based projects designed to convey concern for migrant women’s welfare and rights. The article also examines how women negotiate moral tensions of protectionism as they pursue work abroad.

Mayoritas TKI di luar negeri merupakan perempuan, yang sebagian besar bekerja sebagai pekerja rumah tangga. Berbagai wacana moral yang berhubungan dengan gender muncul berkenaan dengan peran wanita sebagai pekerja rumah tangga di luar negeri. Wacana moral ini disebabkan oleh pencitraan media tentang pelecehan dan eksploitasi pekerja rumah tangga, serta kecemasan berkenaan dengan otonomi seksual yang dirasakan perempuan di luar negeri. Oleh sebab itu, migrasi para tenaga kerja Indonesia menimbulkan dilema yang berkepanjangan, baik dalam hal keselamatan maupun seksualitas perempuan di negara tujuan. Akibatnya, pemerintah Indonesia menyerukan sebuah moratorium terhadap para pekerja rumah tangga di luar negeri, yang dimaksudkan untuk dimulai pada tahun 2017, akan tetapi telah dibatalkan. Artikel ini membahas moralitas, secara spesifik yang berkenaan dengan gender, yang tertuang di dalam rencana moratorium yang diterapkan kepada para pekerja migran perempuan dengan keterampilan rendah. Melihat dari gambaran etnografi penelitian lapangan yang dilakukan terhadap para pekerja rumah tangga di Singapura dan sebuah komunitas pengirim migran di Jawa Timur, saya mempelajari hubungan proteksionisme paternal berbasis negara dan pandangan perempuan itu sendiri dalam hal moralitas gender yang menggambarkan pekerjaan mereka di luar negeri. Saya berpendapat bahwa moratorium tersebut tidak lebih dari retorika pemerintah untuk menunjukkan kepedulian terhadap kesejahteraan dan hak pekerja migran perempuan. Selain itu, artikel ini juga meneliti bagaimana perempuan menegosiasikan tekanan moral tentang proteksionisme saat mereka bekerja di luar negeri.

Perempuan merupakan mayoritas TKW di luar negeri, yang sebagian besar dipekerjakan sebagai pekerja rumah tangga di luar negeri. Berbagai wacana moral gender mencakup peran perempuan sebagai pekerja rumah tangga di luar negeri. Moralitas ini didorong oleh citra media tentang pelecehan dan eksploitasi pekerja rumah tangga, serta kecemasan mengenai otonomi seksual yang dirasakan perempuan di luar negeri. Oleh karena itu, migrasi tenaga kerja wanita di luar negeri membuat dilema moral yang terus-menerus baik dalam hal keselamatan dan seksualitas perempuan di negara tujuan. Akibatnya, pemerintah Indonesia meminta moratorium terhadap pekerja rumah tangga yang bermigrasi ke luar negeri, yang dimaksudkan untuk dimulai pada tahun 2017, namun sejak dicabut. Artikel ini membahas moralitas spesifik gender yang tercakup dalam moratorium yang direncanakan karena diterapkan pada pekerja migran perempuan berketerampilan rendah. Menggambar penelitian lapangan etnografis yang dilakukan di antara pekerja rumah tangga di Singapura dan di sebuah komunitas pengirim migran di Jawa Timur, saya mengeksplorasi hubungan antara proteksionisme paternal berbasis negara dan pandangan perempuan tentang moralitas gender yang menandai pekerjaan di luar negeri mereka. Saya berpendapat bahwa moratorium yang seolah-olah bertujuan untuk melindungi pekerja rumah tangga, mencontohkan proyek berbasis negara yang dirancang untuk menyampaikan kepedulian terhadap kesejahteraan dan hak perempuan migran. Pada gilirannya artikel tersebut juga meneliti bagaimana wanita menegosiasikan ketegangan moral proteksionisme saat mereka bekerja di luar negeri.

Acknowledgments

I would like acknowledge the support of the Asia Research Institute at the National University of Singapore. I would also like to thank Sharyn Graham Davies and Linda Bennett for their support in developing this article and for initiating a panel at the Australian Anthropology Society meeting in 2015, where an earlier version of this article was presented. Finally, thank you to the two anonymous reviewers whose comments and suggestions were invaluable in improving this article.

Notes

1. As at the end of March 2017, the government has reneged on its plan to stop sending domestic workers overseas, although the ban on 21 Middle Eastern countries announced in 2016 will remain in place (see Yi, Citation2017).

2. This shift had been reported in the media as early as 2012 when Indonesia was under a previous administration (Soeriaatmadja, Citation2012).

3. The Philippines was the first nation in the Southeast Asian region to encourage the export of women as overseas labour under the Marcos regime (see Oishi, Citation2005).

4. It is estimated that the number of Indonesian undocumented workers employed overseas is two to four times the number of documented migrants (International Labor Organisation, Citation2013).

5. The volume of emigrant labourers is high, but not constant. It fluctuates considerably, in part because labour-sending countries sporadically impose moratoriums on their migrants entering particular destinations (see Palmer, Citation2016). One such moratorium – Indonesia’s recent ban on Middle Eastern destinations – caused the number of Indonesian workers deployed overseas to fall to approximately 145,000 for the year 2016 (Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia, Citation2016).

6. In the Indonesian context, pregnancy outside wedlock involves its own gendered form of stigma; therefore, motherhood almost invariably involves heterosexual marriage (see Bennett, Citation2005; Platt, Citation2017).

Log in via your institution

Log in to Taylor & Francis Online

PDF download + Online access

  • 48 hours access to article PDF & online version
  • Article PDF can be downloaded
  • Article PDF can be printed
USD 53.00 Add to cart

Issue Purchase

  • 30 days online access to complete issue
  • Article PDFs can be downloaded
  • Article PDFs can be printed
USD 248.00 Add to cart

* Local tax will be added as applicable

Related Research

People also read lists articles that other readers of this article have read.

Recommended articles lists articles that we recommend and is powered by our AI driven recommendation engine.

Cited by lists all citing articles based on Crossref citations.
Articles with the Crossref icon will open in a new tab.